Selasa, 01 Maret 2011

Peterpan syndrom, Cinderella Complex dan Adverisity Quotient

Bunda Elly Risman : Peter Pan Syndrome, Cinderella Complex dan Adverisity Quotient Ditentukan Lewat Pola Asuh di Rumahby Smart Parenting, by Bunda Arifah Handayani on Saturday, August 15, 2009 at 6:19am

Peter Pan Syndrome vs Cinderella Complex dalam upaya pencegahan perceraian dini, begitu tema seminarnya. Waktu pertama kali dengar saya pikir ini kurang relevan untuk saya karena anak-anak masih kecil, belum lagi remaja. Jangankan bicara cerai, bicara nikah aja belum terpikirkan.Tapi kemudian diajak Bunda Nina dan Bunda Riva pake mobil, wah ngga nolak deh ada tumpangan, trims yaa.

Eh ternyata materinya kompleks banget, dan yang paling membuat surprise adalah semua berawal dari kasih sayang orang tua dan over proteksi yang tidak pada tempatnya sejak dini, sehingga membunuh kemandirian anak dan membuat rendahnya Adversity Quotient (kemampuan untuk survive). Yang pada gilirannya akan mencetak laki-laki dengan Peter Pan syndrome, yaitu yang tidak pernah dewasa. Atau anak perempuan dengan cinderella complex yang mengharap ‘prince charming’ datang untuk menyelamatkannya, karena tak mampu menghadapi kesulitan hidup akibat terlalu dilindungi.Pernahkah anda menyuapkan makanan pada anak anda yang sudah SD karena kuatir dia sakit jika tidak makan ? Atau pernahkah anda melihat anak SD berjalan melenggang sementara Ibu/pengasuhnya membawakan tas mereka.



Atau jika anda ditelepon anak anda dari sekolah karena buku PRnya ketinggalan, apakah anda akan tergopoh-hopoh datang ke sekolah untuk mengantarkannya, alih-alih menyuruhnya pulang atau membiarkannya disetrap karena kelalaian. Apakah anda membuka satu per satu buku anak untuk mencari PRnya, kemudian mengoreksi PR dengan tangan anda bahkan menolong membuatkan supaya nilainya bagus. Jika ketiga hal diatas terjadi pada anda, maka waspadalah anda sedang menjerumuskan karakter diri anak anda. Kasih sayang yang anda berikan akan merusak kemampuannya untuk survive di masa depan.

Dalam makalah Bunda Elly ciri-ciri anak dengan Peter Pan Syndrome adalah mereka terbiasa hidup nyaman tanpa beban tanggung jawab, tidak suka bekerja keras, kegiatannya banyak main-main, tidak pernah punya tanggung jawab, tidak bisa mandiri/dewasa, tidak berani mengambil keputusan dan menanggung resiko, kurang percaya diri, enggan hidup sendiri karena mengalami ketergantungan pada orang lain.

Pada anak-anak dengan pola asuh yang potensial menimbulkan Peter pan syndrome biasanya cenderung : Suka menentang, pemberontak, susah punya komitmen, pemarah (marah jika kemauannya tidak terpenuhi), tidak bisa menerima kritikan, mudah sakit hati, terlalu cinta pada diri sendiri, senang memanipulasi dan menolak hubungan dengan lawan jenis. Akibatnya mereka punya masalah tidak tahan terhadap invasi kekuasaan dari lingkungan, mereka tidak mampu berpikir tentang dirinya dan apalagi menangani problem yang menimpa. Karena sejak kecil semua masalanya diatasi bunda, ayah atau pengasuhnya.

Cinderella komplex biasanya menimpa anak wanita yang selalu dilindungi atau yang hidupnya dalam keadaan tertekan. Ia mengharap ada figur yang dapat menyelamatkannya di setiap masalah yang dihadapi. Tanpa berusaha untuk berjuang dengan mengerahkan segenap kemampuan.Dengan pola asuh salah orang tua potensial membentuk karakter laki-laki dengan ciri Peter Pan akibat dimanja dan dibela setiap melakukan kesalahan, dilindungi dan dituruti keinginannya. Sementara anak perempuan dengan ciri Cinderella tidak dididik untuk menerima kenyataan hidup dan diberi banyak mimpi tentang kisah happy ending tanpa tau bahwa happy ending adalah reward dari a long and windeng journey of strugling.

Kedua karakter ini di masa depan akan mengkontribusi dunia dengan generasi yang memiliki AQ (Advertsity Quotient) yang sangat rendah.. Apabila keduanya bertemu dan menikah besar kemungkinan perceraianlah yang terjadi atau never have happy ending.Karena mereka tidak memiliki cukup AQ untuk mengupayakan kehidupan yang lebih baik. AQ adalah kecerdasan untuk bertahan dan mengatasi setiap kesulitan hidup lewat perjuangan. Dengan AQ ditentukan kadar kemampuan orang mengatasi kemelut tanpa menjadi putus asa.Akhir-akhir ini, setelah gencar ESQ ditingkatkan, sebagai cara melejitkan prestasi anak di masa depan lewat potensi spiritual.

AQ muncul sebagai jawaban atas sedihnya hidup orang-orang yang secara karier dan materi sukses, tapi tidak dapat meraih kebahagian akibat rendahnya AQ. Terutama dalam mebina hubungan dlam rumah tangga.

AQ adalah indikator untuk melihat :

1. Kemampuan bertahan dalam setiap penderitaan dan tau cara mengatasi situasi yang membuat penderitaan.

2. Keterampilan untuk menerima dan menyelesaikan setiap tantangan.

3. Ilmu tentang ketabahan manusia (Human Resillience)Perusahan maju mulai melihat indikator di atas sebagai patokan dalam merekrut karyawan baru. Selain IQ, EQ dan ESQ.Untuk memberikan gambaran AQ ini, Stoltz meminjam terminologi para pendaki gunung.

Stoltz membagi para pendaki gunung menjadi tiga jenis :

1. Quitter (Mudahmenyerah). Para quitter adalah para pekerja yang sekadar untuk bertahan hidup). Mereka ini gampang putus asa dan menyerah di tengah jalan saat menerima tantangan.

2. Camper (Berkemah di tengah perjalanan). Para camper lebih baik, karena biasanya mereka berani melakukan pekerjaan yang berisiko, tetapi tetap mengambil risiko yang terukur dan aman. “Ngapain capek-capek” atau “segini juga udah cukup” adalah moto para campers. Orang-orang ini sekurang-kurangnya sudah merasakan tantangan, dan selangkah lebih maju dari para quitters. Sayangnya banyak potensi diri yang tidak teraktualisasikan, dan yang jelas pendakian itu sebenarnya belum selesai.

3. Climber (pendaki yang mencapai puncak). Para climber, yakni mereka, yang dengan segala keberaniannya menghadapi risiko, akan menuntaskan pekerjaannya. Mereka mampu menikmati proses menuju keberhasilan, walau mereka tahu bahwa akan banyak rintangan dan kesulitan yang menghadang. Namun, di balik kesulitan itu ia akan mendapatkan banyak kemudahan.”Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan”Dalam konteks ini, para climber dianggap memiliki AQ tinggi.

Dengan kata lain, AQ membedakan antara para climber, camper, dan quitter . AQ ternyata bukan sekadar anugerah yang bersifat given. AQ ternyata bisa dipelajari. Dengan latihan-latihan tertentu, setiap orang bisa diberi pelatihan untuk meningkatkan level AQ-nya.

Tetepi hasil terhebat akan diperoleh jika kita mampu menginstal AQ ini dalam diri potra-putri kita.Untuk menghasilkan anak dengan ketangguhan seorang Climber yang memiliki AQ tinggi, kita harus memperhatikan 9 aspek perkembangan : Fisik dan kesehatan, daya tahan mental, kestabilan emosi, kemampuan sosial, keimanan dan ibadah kepada Allah SWT, keterampilan dan seksualitas yang normal

So, Smart Parents mau dibawa ke mana pola asuh yang anda terapkan di rumah sepenuhnya adalah hak anda. Tetapi untuk menjadikan anak yang tangguh perlu banyak belajar, usaha dan sabar. Sebeum bicara tentang AQ untuk anak kita, mari berkaca dan meyakini sudah sejauh mana kita sendiri mengembangjan AQ diri kita, dan berusaha meningkatkannya.Demikian semoga bermanfaat. Be Positive and Get Smarter Every Day..!!!Bunda Arifah


The Cinderella complex was first described by Colette Dowling, who wrote a book on women's fear of independence, as an unconscious desire to be taken care of by others, based primarily on a fear of being independent. The complex is said to become more apparent as a person grows older.

Colette Dowling attempts to define women as being motivated by an unconscious desire to be taken care of as a fear of independence termed "Cinderella complex". An important aspect of the work can be defined as identifying an aspect of a larger phenomenon as to why women choose to stay in dysfunctional relationships.

This phenomenon can be defined as a syndrome characterized by a series of specific motivations or causes. Dowling identifies only one motivation, while the syndrome is in fact a combination of many motivations, which are in themselves characteristics that make up a complex.

<span>The term syndrome has been largely used to define conditions apparent in medicine. However, in recent decades the term has been used outside of medicine to refer to a combination of phenomena seen in association.</span>

Tidak ada komentar: